Monday, November 10, 2008

B O N Y O K

Sejenak kita membayangkan, bagaimana rupa orang yang sudah dipukul secara bertubi-tubi, darahnya mengalir keseluruh muka, sehingga muka orang tersebut akan nampak lebam dan sudah tidak dapat dikenali lagi. Bonyok, itulah kira-kira sebutan baginya. Seperti ini pula analogi kondisi bangsa kita, yang sudah lama merasakan kemerosotan nilai-nilai penting yang semestinya dipertahankan oleh setiap masyarakat. Nilai-nilai tersebut seakan-akan sudah tidak dihiraukan lagi kepentingannya, disebabkan sudah terbiasanya hidup dalam keterpurukan. Layaknya tukang sampah yang sudah tidak menghiraukan lagi rasa bau dan kotornya sampah.

Bagaimana dengan kita, sebagai generasi penerus bangsa dalam mensikapi keterpurukan Indonesia ?!. Nilai-nilai penting yang mengangkat derajat dan kesejahteraan rakyatnya sudah hampir hilang. Nilai-nilai yang saya maksudkan adalah nilai politik, nilai ekonomi, dan nilai sosial-budaya. Dalam istilahnya Kuntowijoyo nilai-nilai ini disebut dengan etika, dan etika inilah yang biasa menetapkan pandangan mengenai suatu hal yang benar ataupun salah.
Sedikit menilik nilai-nilai politik Indonesia yang sudah bonyok dihantam kediktatoran dan otoritarianisme orde lama dan orde baru. Rakyat dipaksa menuruti semua kebijakan-kebijakan pemerintah, sekalipun bertentangan dengan agama dan budaya. Pada masa orde reformasi, pemerintah telah membohongi rakyat dengan menggunakan kedok reformasinya. Yel-yel yang dulu digaungkan para mahasiswa dan harapan-harapan yang diangkat rakyat Indonesia sudah tidak dihiraukan lagi, dengan alasan reformasi yang mereka persepsikan sebagai “kebebasan” di segala bidang. Terwujudnya Good and Clean Governance (pemerintahan yang baik dan bersih) di negri ini seakan-akan telah menjadi utopia yang mengakar kuat dalam benak masyarakatnya. Lalu, akan dibawa kemanakah kita pada pemerintahan SBY kali ini ?!.
Nilai-nilai ekonomi bangsa inipun sudah lebam dipukuli dengan pencurian dan perampokan massal, dimulai dari birokrat terendah sampai elit politik paling atas, dari orang bodoh sampai orang terdidik. Mereka mencuri ataupun memeras uang rakyat dengan kapasitas yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kedudukannya. Sebab itulah negara kita menduduki tingkat atas dalam hal korupsi. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa nilai-nilai ekonomi kita sudah lama disetir oleh IMF dan negara-negara adikuasa, kita tidak dapat bergerak leluasa karena memiliki hutang materil sekaligus hutang budi kepada mereka. Sehingga sering kali kebijakan-kebijakan politis pemerintah Indonesia mengikuti kebijakan-kebijakan bangsa asing.
Nilai-nilai sosial-budayapun sudah takluk oleh hawa nafsu manusia yang terlahir dari ketidakberdayaannya para orang tua, tokoh masyarakat, ulama dan pemerintah di dalam memberikan nasihat secara qauli dan fi’li. Jiwa gotong-royong dan musyawarah yang sedari dulu dielu-elukan bangsa kita -bahkan sudah menjadi tipikal masyarakat Indonesia-, kini sudah keropos dimakan rayap-rayap individualisme. Sosial-budaya kita sudah kalah dihantam Budaya barat, sehingga budaya barat seakan-akan menjadi suatu hal yang mesti diikuti para pemuda. Loncatan budaya free sex-pun sudah melejit begitu tinggi, sehingga banyak hasil polling yang membuat kita mesti mengurut dada. Buku-buku yang menyingkap budaya free sex, seperti buku “Sex In The Kost” dan “Jakarta Under Cover”, bukannya menjadi bahan renungan dan menjadi solusi problem, akan tetapi malah menjadi suatu “kebanggaan” dan menjadi buku semi porno yang berkedok perjuangan moralitas. Kalaulah para penulis tersebut sadar, pasti mereka cukup menuliskan gambaran umum budaya free sex yang menjangkit para pemuda, bukan malah membahasnya secara mendetail tanpa melihat efek negatifnya.
Dengan melihat kondisi bangsa kita saat ini, sering kita mendengar selentingan emosi yang keluar dari sekelompok orang yang menyerukan "potong satu generasi !", maksudnya menyerukan agar menghapus satu generasi yang sudah tidak bisa lagi diobati dari penyakitnya yang sudah akut. Pikiran ini terlahir dari cara berpikir mereka yang instant yang dibidani oleh rasa kepesimisan dan kepragmatisan mereka.
Oleh karena itu, mari kita sadar dan kembali kepada agama yang mengajarkan nilai politik egaliterianisme (kesederajatan) antar pemerintah dengan rakyat (QS. 49 : 13), serta yang memerintahkan kepada nilai ekonomi yang jujur dan yang memelihara keamanan harta rakyat (QS. 2 : 188). Juga memerintahkan kepada nilai-nilai sosial-budaya yang berakhlaqul karimah (QS. 5: 2).
Ajakan kembali kepada agama ini bukan berarti mengajak manusia agar kembali pada Dark Age (masa kegelapan) dimana agama Kristen menguasai seluruh aspek kehidupan manusia sehingga menghancurkan peradaban dunia, akan tetapi ajakan ini adalah ajakan kepada Renaisans/Tanwiir dimana agama Islam menerangi seluruh aspek kehidupan manusia.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu

No comments: